“Pelangi!! Ayo kesini! Hujannya super deras nih! Nanti
sakit baru tau rasa”. Teriakku sekencang – kencangnya
ke arah Pelangi yang dari tadi mengincar air hujan yang berjatuhan.
“Bentar! Lagi seru main sama air nih! Lagian kalo
disitu nanti kita nggak bisa lihat pelangi tau!” balas pelangi dari
kejauhan.
Aku segera mendatanginya.
“Mana pelanginya?” tanyaku penasaran.
“Wiiiih, dan sampai kapan pun kita nggak pernah boleh
gengsi ataupun jaga image buat hujan-hujan lihat pelangi bareng” Goda Riko.
Oh ya. Kenalkan namaku Riko. Aku
duduk di bangku kelas 2 SMA. Aku sangat suka dengan dunia balap. Piala dan
penghargaan prestasiku di dunia balap juga nggak sedikit. Cuplikan tadi hanya
seberkas cerita kecilku bersama sahabatku, Pelangi. Dan itu masa-masa kita
melihat pelangi bersama–sama dan akhirnya menjadi hobi kita setiap turun hujan. Tapi
sekarang Pelangi nggak pernah nemui aku, katanya sih dia tinggal di Swiss.
Terakhir bertemu saat kita berumur 12 tahun. Aku sangat merindukan masa-masa
bareng dia, masa-masa hujan-hujan lihat pelangi bareng.
Hari ini, begitu indah untuk
seluruh keluargaku. Ayah baru aja pulang dari Amerika. Sudah 7 tahun Ayah nggak
disampingku. Di sekolahku ada siswa baru, ternyata itu Pelangi. Pelangi
sahabatku masa kecil. Kita udah lama dekat. Hingga akhirnya aku mulai
memberanikan diri buat ngungkapin perasaan ke Pelangi. Dag dig dug makin
terasa. Makin keras, keras, dan terasa jantung ini akan pecah. Mengapa? Karena
aku berhasil dengan lancar menembak Pelangi. Sekarang aku tinggal menunggu
jawaban. Kutatap matanya, ia juga menatap mataku. Dan jawaban apa yang kudapat?
“Ehm, gimana ya? Oke. Tapi kita harus serius dan nggak
main-main oke?”
Jelas saja kubalas “PASTI!”. Aku serasa melayang bebas ke udara.
Besoknya, aku berangkat ke
sekolah kayak biasa. Naik sepeda motor sama boncengin Pelangi. Pelangi ngasih
aku gantungan kunci berwarna – warni mulai dari merah dan berurut sampai ungu.
Ditengahnya terdapat ukiran bertuliskan ‘Rainbow’ dan sekarang aku gunakan untuk
menghias kunci sepeda motor kesayanganku.
Pulangnya aku harus mendengar
kabar buruk. Ayahku masuk rumah sakit. Mengapa? Karena penyakitnya kambuh. Segera
aku menuju rumah sakit.
Aku terduduk lesu di kursi
sebelah Kak Revan. Otakku berjalan lambat ke belakang teringat beberapa minggu
lalu saat ayah baru pulang dari Amerika. Keluargaku benar – benar senang dan bahagia.
Hingga aku temui Pelangi dan aku tembak dia. Tapi sekarang....Tiba-tiba Mama
memberi kertas berisi biaya yang harus dibayar untuk perawatan ayah.
“Segini banyak, Ma?” aku bertanya heran
pada mama.
Mama menganggukkan kepalanya
pertanda kata – kata “IYA”
Gimana caranya mendapatkan uang
sebanyak ini? Disaat aku down dan kebingungan seperti ini, Pelangi justru nggak
ada buat aku bahkan dia bilang harus balik ke Swiss dengan alasan menemani
mamanya yang lagi sakit.
OMG! Apa ada lagi cobaan yang
akan menerkamku setelah ini? Ah! Terpaksa aku harus merelakan kepergian Pelangi
ke Swiss. Aku berharap Pelangi akan menepati dan tidak mengingkari belasan
janjinya padaku. Baiklah, aku masih punya gantungan kunci dari Pelangi. Aku
harus memikirkan caraku mendapatkan uang untuk perawatan ayah. Tapi bagaimana?
Ya! Aku harus beraksi di dunia balapku!
“Udah Ko. Kalo ada barang yang bisa
dijual, biar mama jual daripada kamu ikut balapan kayak gitu.” Mama melarangku.
Kak Revan juga tidak menyetujui
aku ikut balap liar, tapi aku memaksakan diri ikut balap ini agar dapat biaya
untuk perawatan Ayah sampai sembuh. Semua ini tanpa sepengetahuan Ayah dan
Pelangi. Karena kalau mereka tau, pasti mereka ada saja akal untuk mencegahku
untuk balap.
Hari yang kutunggu akhirnya tiba.
Sudah siap aku di atas motor balapku ini. Tak lupa ada gantungan kunci dari
Pelangi yang menemaniku. Para cewek – cewek di depanku menarik bendera hitam
putih di tangan mereka. Kami semua segera melaju. Kutancap lagi gasku! Garis
finish udah ada di depanku. Mataku mulai jeli memainkan trik. Tinggal sedikit
lagi.. Ya, ya, ya.. YESSS!!! Aku berhasil mencapai urutan pertama di garis
finish. Kebetulan ada Paman Heru berteriak menyemangatiku dari jauh. Para
penonton menyoraki dan memberi tepuk tangan untukku. Sangat haru sekali. Sangat
memuaskan. Tapi, polisi! Polisi! Polisi! Penonton berlarian kesana kemari. Para
pembalap lain melaju kencang tak berarah.
“Riko! Ayo pergi! Paman nggak mau kamu ditangkap
polisi!” Paman Heru berteriak padaku.
“Lho kenapa?” teriakku membalas
paman Heru.
“Riko ini Balap Liar!” Getak paman.
“tapi paman.... Aku kan belum dapat hadiahnya”
Dengan perasaan tak menentu. Kutancap gasku.
Aku melaju tanpa arah. Nggak aku sangka segerombolan cewek centil berlarian
dengan histeris di depanku. Aku rem motorku dengan sangat mendadak dengan
kecepatan yang melebihi normalnya. Keseimbanganku goyah. Aku terjatuh dari
motorku! Kakiku tertindih body motorku. Sebelum aku bebaskan kakiku, aku raih
dulu gantungan kunci dari Pelangi dan aku kantongi. Sempat aku berdiri dari
jatuhku, namun seorang pembalap dengan motor besarnya melindas kedua kakiku
dengan kecepatan tinggi. Aku langsung tak sadar diri. Paman Heru datang
menghampiriku dan membawaku ke rumah sakit.
Perlahan – lahan aku membuka
mataku. Kulihat anggota badanku. Ada yang hilang!! Kakiku!! Tertanya peristiwa
itu membuat aku kehilangan kedua kakiku, namun aku hanya bisa menerima dan
menjalani hari-hariku tanpa dua kaki.
Siang itu hujan turun. Aku sangat
ingat pada Pelangi. Aku ingat janji dia yang katanya setiap turun hujan dia
akan balik buat liat pelangi sama – sama. Sudah semalaman Pelangi nggak kasih
kabar, aku nunggu. Kini aku hanya bisa menangis membaca surat dari Pelangi yang
dititipkan ke Kak Revan. Surat itu berisi
“Buat Riko sahabat sekaligus pacar. Aku minta maaf. Aku nggak bisa balik lagi buat lihat pelangi sama–sama kayak dulu. Soalnya disini aku udah sama cowok yang aku pikir bisa dampingin hidupku kedepannya. Jujur, aku kecewa sama kamu! Kamu sendiri yang pernah janji nggak bakal ikutan balap apapun yang terjadi, tapi ternyata? Tolong rawat gantungan kuncinya ya, aku titip. oke?”
Itupun belum semua. Yang paling
membuat aku menyesal menunggunya semalaman adalah kalimat terakhir dari
suratnya.
“Aku nggak bisa hidup sama orang cacat tanpa dua kaki kayak kamu yang sekarang.”

Tidak ada komentar:
Posting Komentar