Minggu, 14 April 2013

Menunggu Pelangi (⌣́_⌣̀)



“Pelangi!! Ayo kesini! Hujannya super deras nih! Nanti sakit baru tau rasa”. Teriakku sekencang – kencangnya ke arah Pelangi yang dari tadi mengincar air hujan yang berjatuhan.
“Bentar! Lagi seru main sama air nih! Lagian kalo disitu nanti kita nggak bisa lihat pelangi tau!” balas pelangi dari kejauhan.
Aku segera mendatanginya.
 “Mana pelanginya?” tanyaku penasaran.
“Rik, sumpah hujannya deras dan awet, sama kayak persahabatan kita. Yang aku harap selalu awet sampai ajal yang menghentikan kita.” Ucap Pelangi sambil senyum kecil ke Riko.
“Wiiiih, dan sampai kapan pun kita nggak pernah boleh gengsi ataupun jaga image buat hujan-hujan lihat pelangi bareng” Goda Riko.


Oh ya. Kenalkan namaku Riko. Aku duduk di bangku kelas 2 SMA. Aku sangat suka dengan dunia balap. Piala dan penghargaan prestasiku di dunia balap juga nggak sedikit. Cuplikan tadi hanya seberkas cerita kecilku bersama sahabatku, Pelangi. Dan itu masa-masa kita melihat pelangi bersama–sama dan akhirnya menjadi hobi kita setiap turun hujan. Tapi sekarang Pelangi nggak pernah nemui aku, katanya sih dia tinggal di Swiss. Terakhir bertemu saat kita berumur 12 tahun. Aku sangat merindukan masa-masa bareng dia, masa-masa hujan-hujan lihat pelangi bareng.                        
Hari ini, begitu indah untuk seluruh keluargaku. Ayah baru aja pulang dari Amerika. Sudah 7 tahun Ayah nggak disampingku. Di sekolahku ada siswa baru, ternyata itu Pelangi. Pelangi sahabatku masa kecil. Kita udah lama dekat. Hingga akhirnya aku mulai memberanikan diri buat ngungkapin perasaan ke Pelangi. Dag dig dug makin terasa. Makin keras, keras, dan terasa jantung ini akan pecah. Mengapa? Karena aku berhasil dengan lancar menembak Pelangi. Sekarang aku tinggal menunggu jawaban. Kutatap matanya, ia juga menatap mataku. Dan jawaban apa yang kudapat?
“Ehm, gimana ya? Oke. Tapi kita harus serius dan nggak main-main oke?”
Jelas saja kubalas “PASTI!”. Aku serasa melayang bebas ke udara.
Besoknya, aku berangkat ke sekolah kayak biasa. Naik sepeda motor sama boncengin Pelangi. Pelangi ngasih aku gantungan kunci berwarna – warni mulai dari merah dan berurut sampai ungu. Ditengahnya terdapat ukiran bertuliskan ‘Rainbow’ dan sekarang aku gunakan untuk menghias kunci sepeda motor kesayanganku.
Pulangnya aku harus mendengar kabar buruk. Ayahku masuk rumah sakit. Mengapa? Karena penyakitnya kambuh. Segera aku menuju rumah sakit.
Aku terduduk lesu di kursi sebelah Kak Revan. Otakku berjalan lambat ke belakang teringat beberapa minggu lalu saat ayah baru pulang dari Amerika. Keluargaku benar – benar senang dan bahagia. Hingga aku temui Pelangi dan aku tembak dia. Tapi sekarang....Tiba-tiba Mama memberi kertas berisi biaya yang harus dibayar untuk perawatan ayah.
“Segini banyak, Ma?” aku bertanya heran pada mama.
Mama menganggukkan kepalanya pertanda kata – kata “IYA”
Gimana caranya mendapatkan uang sebanyak ini? Disaat aku down dan kebingungan seperti ini, Pelangi justru nggak ada buat aku bahkan dia bilang harus balik ke Swiss dengan alasan menemani mamanya yang lagi sakit.
OMG! Apa ada lagi cobaan yang akan menerkamku setelah ini? Ah! Terpaksa aku harus merelakan kepergian Pelangi ke Swiss. Aku berharap Pelangi akan menepati dan tidak mengingkari belasan janjinya padaku. Baiklah, aku masih punya gantungan kunci dari Pelangi. Aku harus memikirkan caraku mendapatkan uang untuk perawatan ayah. Tapi bagaimana? Ya! Aku harus beraksi di dunia balapku!
 “Udah Ko. Kalo ada barang yang bisa dijual, biar mama jual daripada kamu ikut balapan kayak gitu.” Mama melarangku.
Kak Revan juga tidak menyetujui aku ikut balap liar, tapi aku memaksakan diri ikut balap ini agar dapat biaya untuk perawatan Ayah sampai sembuh. Semua ini tanpa sepengetahuan Ayah dan Pelangi. Karena kalau mereka tau, pasti mereka ada saja akal untuk mencegahku untuk balap.
Hari yang kutunggu akhirnya tiba. Sudah siap aku di atas motor balapku ini. Tak lupa ada gantungan kunci dari Pelangi yang menemaniku. Para cewek – cewek di depanku menarik bendera hitam putih di tangan mereka. Kami semua segera melaju. Kutancap lagi gasku! Garis finish udah ada di depanku. Mataku mulai jeli memainkan trik. Tinggal sedikit lagi.. Ya, ya, ya.. YESSS!!! Aku berhasil mencapai urutan pertama di garis finish. Kebetulan ada Paman Heru berteriak menyemangatiku dari jauh. Para penonton menyoraki dan memberi tepuk tangan untukku. Sangat haru sekali. Sangat memuaskan. Tapi, polisi! Polisi! Polisi! Penonton berlarian kesana kemari. Para pembalap lain melaju kencang tak berarah.
“Riko! Ayo pergi! Paman nggak mau kamu ditangkap polisi!” Paman Heru berteriak padaku.
“Lho kenapa?” teriakku membalas paman Heru.
“Riko ini Balap Liar!” Getak paman.
“tapi paman.... Aku kan belum dapat hadiahnya”
 Dengan perasaan tak menentu. Kutancap gasku. Aku melaju tanpa arah. Nggak aku sangka segerombolan cewek centil berlarian dengan histeris di depanku. Aku rem motorku dengan sangat mendadak dengan kecepatan yang melebihi normalnya. Keseimbanganku goyah. Aku terjatuh dari motorku!  Kakiku tertindih body motorku. Sebelum aku bebaskan kakiku, aku raih dulu gantungan kunci dari Pelangi dan aku kantongi. Sempat aku berdiri dari jatuhku, namun seorang pembalap dengan motor besarnya melindas kedua kakiku dengan kecepatan tinggi. Aku langsung tak sadar diri. Paman Heru datang menghampiriku dan membawaku ke rumah sakit.
Perlahan – lahan aku membuka mataku. Kulihat anggota badanku. Ada yang hilang!! Kakiku!! Tertanya peristiwa itu membuat aku kehilangan kedua kakiku, namun aku hanya bisa menerima dan menjalani hari-hariku tanpa dua kaki.
Siang itu hujan turun. Aku sangat ingat pada Pelangi. Aku ingat janji dia yang katanya setiap turun hujan dia akan balik buat liat pelangi sama – sama. Sudah semalaman Pelangi nggak kasih kabar, aku nunggu. Kini aku hanya bisa menangis membaca surat dari Pelangi yang dititipkan ke Kak Revan. Surat itu berisi
 “Buat Riko sahabat sekaligus pacar. Aku minta maaf. Aku nggak bisa balik lagi buat lihat pelangi sama–sama kayak dulu. Soalnya disini aku udah  sama cowok yang aku pikir bisa dampingin hidupku kedepannya. Jujur, aku kecewa sama kamu! Kamu sendiri yang pernah janji nggak bakal ikutan balap apapun yang terjadi, tapi ternyata? Tolong rawat gantungan kuncinya ya, aku titip. oke?”       
Itupun belum semua. Yang paling membuat aku menyesal menunggunya semalaman adalah kalimat terakhir dari suratnya.
“Aku nggak bisa hidup sama orang cacat tanpa dua kaki kayak kamu yang sekarang.”  
               
Kini aku sadari, pelangi hanya terbentuk dari pembiasan yang tidak nyata. Namun bisa membuat satu cahaya putih menjadi bermacam – macam warna. Tetapi pelangi hanya sementara dan bila tak ada air dan cahaya pelangi hanya akan mengingkari janjinya untuk menyinari dunia. Sama seperti si Pelangi. Pelangi memang bisa membuat hidupku berwarna dan ceria. Tapi hiburan itu hanya sementara untukku dan bila tidak ada diriku yang utuh seperti dulu, dia bisa mengingkari janjinya dan berpaling.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar